Ketua Pemuda Muslimin Indonesia Kabupaten Mempawah, Tirmizi Alfatani |
JURNAL GALAHERANG - Pada Pilkada Serentak 2024, kesetaraan bagi penyandang disabilitas menjadi isu yang semakin mendesak untuk diakomodasi oleh negara. Pemilih dengan disabilitas sering kali menghadapi berbagai kendala dalam menggunakan hak politik mereka, baik dari segi aksesibilitas infrastruktur maupun informasi yang kurang inklusif. Oleh karena itu, memastikan kesetaraan hak bagi pemilih dengan disabilitas bukan hanya soal tanggung jawab moral, tetapi juga pemenuhan hak-hak asasi manusia yang dijamin oleh undang-undang.
1. Hak Pilih dan Kesetaraan dalam Demokrasi
Hak memilih adalah hak dasar setiap warga negara, termasuk bagi penyandang disabilitas. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas di Indonesia sudah menegaskan pentingnya inklusi bagi penyandang disabilitas, termasuk dalam partisipasi politik. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan masih adanya tantangan, seperti TPS yang tidak ramah disabilitas, kurangnya pendampingan yang layak, serta keterbatasan akses pada informasi terkait pemilu.
Menurut teori **Hibbing and Theiss-Morse (2002)** tentang demokrasi partisipatoris, seluruh warga negara harus terlibat secara aktif dalam proses politik agar demokrasi dapat berfungsi secara optimal. Hal ini berarti setiap orang, tanpa terkecuali, termasuk penyandang disabilitas, harus memiliki kesempatan yang sama untuk terlibat dalam menentukan masa depan politik mereka.
2. Infrastruktur dan Aksesibilitas
Salah satu hambatan terbesar yang dihadapi oleh penyandang disabilitas dalam Pilkada Serentak 2024 adalah kurangnya aksesibilitas fisik di TPS. Berdasarkan data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada pemilu sebelumnya, masih banyak TPS yang tidak ramah bagi pemilih yang menggunakan kursi roda atau memiliki hambatan fisik lainnya. Hal ini jelas melanggar prinsip-prinsip yang diusung oleh teori **universal design** (Steinfeld & Maisel, 2012), yang menekankan bahwa infrastruktur publik harus dirancang untuk dapat diakses oleh semua orang, termasuk penyandang disabilitas.
Penerapan desain universal dalam penyelenggaraan pemilu seharusnya menjadi prioritas utama pemerintah daerah dan KPU, agar penyandang disabilitas dapat menggunakan hak pilihnya secara mandiri, tanpa harus merasa terpinggirkan.
3. Hak untuk Mendapatkan Informasi yang Inklusif
Selain masalah fisik, akses informasi yang inklusif juga menjadi tantangan besar bagi pemilih disabilitas, khususnya mereka yang mengalami hambatan pendengaran atau penglihatan. Informasi terkait calon, jadwal pemungutan suara, hingga tata cara pemilihan sering kali disampaikan dalam format yang sulit diakses oleh penyandang disabilitas. **Teori komunikasi inklusif** (Roulstone & Hwang, 2015) menekankan bahwa informasi harus disajikan dalam berbagai format, seperti teks braille, bahasa isyarat, atau bahkan video dengan teks, agar dapat menjangkau semua lapisan masyarakat.
KPU harus lebih aktif mempromosikan materi pemilu yang inklusif dan dapat diakses oleh semua golongan, termasuk penyandang disabilitas, agar mereka dapat membuat keputusan yang tepat dan didasarkan pada informasi yang valid.
4. Kebutuhan akan Pendampingan dan Privasi
Salah satu hak fundamental dalam pemilu adalah kebebasan dalam menentukan pilihan tanpa intervensi dari pihak lain. Penyandang disabilitas, khususnya mereka yang membutuhkan bantuan dalam proses pemungutan suara, sering kali menghadapi dilema antara menerima bantuan dan menjaga kerahasiaan pilihannya. Dalam hal ini, KPU harus memastikan adanya mekanisme yang memadai untuk menyediakan pendampingan yang bersifat netral dan tetap menjamin privasi pemilih.
Menurut **teori justifikasi sosial** (Fraser, 2009), keadilan sosial menuntut adanya perhatian khusus terhadap kelompok-kelompok rentan agar mereka tidak hanya dianggap setara secara hukum, tetapi juga mendapatkan dukungan yang diperlukan untuk berpartisipasi secara penuh dan bermartabat dalam kehidupan demokrasi.
Kesimpulan
Kesetaraan bagi penyandang disabilitas dalam Pilkada Serentak 2024 adalah sebuah keniscayaan yang harus diwujudkan. Negara dan penyelenggara pemilu memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa setiap warga negara, termasuk penyandang disabilitas, mendapatkan hak yang sama dalam menentukan pilihan politiknya. Ini mencakup aksesibilitas infrastruktur, informasi yang inklusif, serta pendampingan yang netral dan profesional. Hanya dengan pendekatan ini, kita dapat mewujudkan demokrasi yang benar-benar inklusif dan adil bagi semua.
**Referensi:**
- Hibbing, J. R., & Theiss-Morse, E. (2002). *Stealth Democracy: Americans' Beliefs About How Government Should Work*. Cambridge University Press.
- Steinfeld, E., & Maisel, J. (2012). *Universal Design: Creating Inclusive Environments*. John Wiley & Sons.
- Roulstone, A., & Hwang, C. (2015). *Communicating Inclusively in the Workplace: A Practical Guide to Working with Disability*. Palgrave Macmillan.
- Fraser, N. (2009). *Scales of Justice: Reimagining Political Space in a Globalizing World*. Columbia University Press.
-
Penulis :
Tirmizi Alfatani, S.Pd
Ketua Pemuda Muslimin Indonesia Kabupaten Mempawah